Saturday, October 29, 2016

Ruh dan Psikologis Manusia


Oleh : Daniel Iqbal Sujana
Sumber            : Izutsu, Toshiko., “Sufism and taoism : A Comparative study of key Philosopical concepts “Nama-nama ilahi Chapt 7” : Mizan Bandung; 2015.
Ruh dan Psikologis Manusia



Perilaku dari semua sifat negatif dan positif sangat familiar bagi kita. Kita selalu percaya bahwa perilaku negatif dan positif membawa dampaknya yang berbeda, itu semua dipengaruhi oleh dorongan id dari diri kita. Akan tetapi, Toshiko Izutsu dalam bukunya yang berjudul “Sufism and Taoisme”, membantah semua pernyataan itu. ia berpendapat-yang semuanya merefleksikan dari pemikiran ibn Arabi- setiap manusia yang lahir di dunia ini merupakan bentuk manifestasi Sang Mutlak, manifestasi itu di deskripsikan oleh kita sebagai Ruh. Semua dorongan manusia berdasarkan kepada sesuatu yang tinggi, berisi Cinta dan kasih. Dorongan id yang menentukan sifat positif atau negatif hanyalah akibat dari segala faktor X yang ada di dunia Inderawi, karena pada dunia inderawi sifat Ketuhanan yang dimanifestasikan itu tertutup oleh ruang Materi.
Setidaknya ada 2 faktor Manusia kesulitan mengaktifkan kembali Ruh. Yang pertama, “kesiapan” diri menerima Tajjali dari Sang Mutlak. kesiapan ini adalah  pribadi yang lapang menerima salah satu atau banyak Asma Al Husna Sang Ilahi. Karena, ternyata ada orang yang “tidak siap” menerima sifat Ilahiah. Yang kedua, Delusi Alam materi yang menyebabkan tertutupnya ia dari sifat ilahiah. Ciri dari tertutupnya sifat ilahiah ini ada 4 , yaitu 1. Tertutupnya Batin dan Nurani 2. Kecintaannya kepada Materi 3. Membenci merupakan suatu kepantasan 4. Tidak percaya Takwil mimpi.
Permasalahan Kesiapan dan Delusi alam materi ini merupakan bentuk perjalanan Spiritual Hamba-Nya menuju Tuhan. Bagi kita, kesiapan menerima Tajjali Allah sangat sulit, butuh latihan (Mujahaddah) yang Intens demi terbentuknya wadah kesiapan diri kita. Kesiapan ini berhubungan dengan Nama-nama dan sifat Sang Mutlak yang terpartikularisasi kepada hamba-Nya dari Nama-nama Ilahi yang begitu banyak (hal 129). Itulah awal penciptaan, “ditiupkan Ruh” ke dalam diri manusia hingga ia bergerak dan hidup. Karena ia dihidupkan oleh Ruh Allah, maka ia memiliki potensi Ilahi atau para Filsuf Muslim mengatakan Akal potensi. Tetapi, untuk menjadi Aktual, nama itu harus menjadi maujud tertentu, dari maujud itu terlahirlah manusia yang dapat mengaktualkan nama tersebut. Maka, orang yang sedang berada dijalan spiritual, ia akan merasakan Wihdatul Wujud, ia merasakan Fana bahwa sesungguhnya dirinya  telah tiada, yang ada hanyalah sifat-sifat baik Ilahi bersemayam dalam dirinya. Karenanya, sangat mustahil seorang Salik atau Sufi melakukan tindakan yang melanggar Hukum Agama, bukan karena Salik itu takut pada Agama, tetapi ia takut keintiman dengan Ilahi akan memudar dengan sendirinya. Kemudian, Alam yang sering kita sebut dengan “realitas”, dalam pandangan lain adalah mimpi. Karena awalnya, kita mempersepsi sebuah benda melalui panca indera, kemudian kita mengkonsepsi segala benda yang kita lihat, setelah kita mengkonsepsi maka benda tersebut terlihat Solid sebagai Realitas. Namun, ada sebuah Pesan Metafora yang tersampaikan di Bab 1, sesungguhnya yang kita sebut sebagai Realitas itu sebenarnya tidak menunjukan Realitas apapun. Dengan makna lain, suatu benda yang kita konsepsi bukanlah Wujud yang Hakiki. Kemudian didalam sebuah Hadis terkenal, “Semua manusia tertidur (di dunia ini); setelah mati barulah mereka terbangun”. Ibn Arabi dengan indah bertutur mengenai Hadis ini : Dunia ini adalah ilusi; ia tidak memiliki Eksistensi hakiki. Dan inilah yang dimaksud dengan imajinasi (khayal). Karena kau hanya membayangkan (Imagine) bahwa ia (yakni, Dunia ini) adalah realitas otonom yang berbeda dan mandiri dari Realitas Mutlak, padahal sebenarnya tidak demikian.
Secara Psikologis perilaku manusia didorong oleh determinasi Ruh Ilahi yang bersemayam dalam dirinya. Maka daya tertinggi dalam manusia bersifat luhur, Cinta dan kasih. Rahmat Ontologis Sang Mutlak merupakan bukti Kesucian Ruh yang bersemayam dalam diri kita (hal 135). Rahmat Ontologis ini terbagi menjadi 2; 1. Rahman 2. Rahim. Yang pertama, Rahman. Rahman merupakan bentuk Rahmat “Secara Cuma-Cuma” yang diberikan Sang Mutlak kepada semua yang ia ciptakan, maka Sang Mutlak mencipta akibat Cinta. karenanya, Cinta merupakan sebab dari penciptaan. Rahmat ini meliputi seluruh relung kehidupan dan diatas semua batasan “Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu” (QS Al-A’raf (7) : 156). Yang kedua, Rahim. Rahim merupakan bentuk Rahmat kewajiban bagi Manusia, artinya, Rahmat ini wajib didapatkan manusia karena perbuatan baiknya. Setelah manusia itu mendapatkan Rahim dari kewajiban sifat-sifat ilahiah, sejatinya, ia akan mengetahui siapa dirinya, kepribadiannya mulai terbentuk dan teraktualisasikan (hal 143).  
Dalam hal ini, keilmuan Psikologi sekuler tidak menyentuh Dimensi Insani terjujur dari perbuatan positif atau negatif, teorinya begitu usang dan kaku. Seharusnya, manusia secara esensi adalah Makhluk Spiritual yang memiliki daya Ruh dan Psikologis yang terkonsepsi dan teraktualisasikan kepada Sang Khalik.

No comments:

Post a Comment